Berakhlak Mulia Kepada Allah

Oleh Abu Abdillah Syahrul Fatwa حفظه الله تعالى

Kedudukan Akhlak Dalam Islam

Sungguh agama Islam telah menempatkan akhlak mulia sebagai sifat yang sempurna,  karena Alloh rabbul a’lamin sangat mencintai akhlak mulia dan membenci kebalikannya. Sebagaimana disinyalir dalam sebuah hadits,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأُمُوْرِ وَ أَشْرَفَهَا وَ يَكْرَهُ سَفْسَافَهَا

Sesungguhnya Alloh mencintai perkara-perkara yang mulia dan membenci perkara yang rendahan. (HR. Thabrani 2894, Ibnu Adi 1/114, al-Qudhai 2/89. Lihat as-Shahihah 1627).

Dengan demikian dapat kita pastikan bahwa akhlak termasuk ibadah. Karena tidak ada satupun perkara yang dicintai olehNya kecuali dia termasuk bagian ibadah dan perkara yang urgen dalam agama. Rasulullah sendiri telah menegaskan bahwa akhlak merupakan ibadah yang agung yang dapat mengangkat derajat seorang mukmin, berdasarkan hadits;

إِنَّ اْلمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ اْلصَّائِمِ الْقَائِمِ

Sungguh seorang mukmin dapat meraih derajatnya orang yang shalat dan puasa karena akhlaknya yang bagus. (HR. Abu dawud 4798, Hakim 1/60, Ibnu Hibban 1927, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah 795).

Karena perkaranya yang agung dan urgen, pembuat syari’at yang mulia ini tidak luput untuk memperhatikan masalah akhlak, boleh kita tegaskan bahwa agama ini seluruhnya adalah akhlak.

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Agama ini seluruhnya adalah akhlak, barangsiapa yang memperbaiki akhlaknya maka baik pula agamanya”. (Madarijus Salikin 2/320).

Cukuplah dalil-dalil syar’I sebagai bukti bahwa Islam adalah agama yang selalu mengajarkan dan menganjurkan untuk berakhlak mulia. Diantaranya Alloh berfirman;

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf:199).

Alloh juga berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS.at-Tahrim 6).

Sahabat mulia Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Yaitu ajari dan didiklah mereka”. (Tafsir at-Thabari 28/165).

Yang menguatkan pula bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan masalah akhlak adalah diutusnya nabi kita sebagai pembawa panji terdepan dalam masalah akhlak. Rasulullah bersabda;

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ

Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR.Ahmad 2/381, Bukhari dalam Adab Mufrad 273, Hakim 2/613, Dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah 45, Shahih Adab Mufrad 207).

Imam Ibnu Sirin mengatakan, “Dahulu para sahabat mempelajari adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu”. (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal.14, oleh Ibnu Jama’ah al-Kinani, Dar.Kutub Ilmiyyah. Lihat pula Mausu’ah al-Adab al-Islamiyyah hal.13, oleh Abdul Aziz Futuhi, Dar.Thayyibah).

Demikian pula para ulama rabbaniyyin sebagai pewaris para nabi mereka bangkit untuk menyerukan berhias dengan akhlak mulia melalui pena dan tulisan yang mereka goreskan dalam kitab-kitab mereka. Mereka sangat serius dan perhatian bahkan menjadikan akhlak sebagai ciri khas aqidah ahluss sunnah wal jama’ah.

Imam Abu ‘Utsman as-Shabuni berkata, “Mereka (ahlul hadits) menganjurkan untuk mengerjakan shalat malam setelah tidur, menyambung silaturrahim, menyebarkan salam, memberi makan, mengasihi fakir, miskin, anak-anak yatim dan peduli terhadap masalah kaum muslimin”. (Aqidatus Salaf Wa Ashhabul Hadits hal.101).

Demikian pula apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-Aqidah al-Washitiyyah, setelah memaparkan aqidah dan prinsip dasar ahlus sunnah, beliau mengatakan, “Dan mereka Ahlus Sunnah menyeru untuk berakhlak mulia, berbuat kebajikan, meyakini makna hadits Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, mereka menganjurkan untuk menyambung hubungan orang yang memusuhi, memberi dan memaafkan orang yang menzhalimi serta berbuat baik kepada kedua orang tua”. (Syarah al-Aqidah al-Washitiyyah hal.2/352).

Dari penjelasan diatas, jelaslah kesalahan orang yang mengagumkan dan mengatakan bahwa orang kafir barat lebih bagus akhlaknya daripada kaum muslimin, mengatakan bahwa Islam agama pedang dan kekerasan, tidak berakhlak!?, tidak sekali-kali tidak, Islam tidak boleh dihina hanya karena terkotori oleh segelintir pemeluknya!! Islam adalah agama yang menyerukan berakhlak mulia sebagaimana telah jelas dari uraian dimuka. (Lihat Makarimul Akhlak hal.5 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ittihaf Thullab Bi Syarhi Manzhumah al-Adab hal.3 oleh Syaikh Shalih al-Fauzan).[1]

Adab Kepada Alloh

Sekarang mari kita masuk inti pembahasan kali ini, yaitu adab kepada Alloh. Jika ada yang bertanya mengapa pembahasan ini perlu dibahas? Kami jawab, bahwa masalah adab atau akhlak adalah masalah penting yang tidak bisa dianggap sepele, terlebih lagi adab bersama Alloh. Apabila sesama manusia kita dituntut untuk untuk beradab, sopan santun dan sebagainya maka tentu lebih utama lagi kita harus mempunyai adab kepada Alloh. Yang kedua, anggapan sebagian orang, bahwa adab itu hanya kepada manusia, tentu ini adalah anggapan yang keliru atau bahkan kita katakan kesalahan yang fatal, karena dengan demikian kita akan melalaikan hak terbesar yang harus diberikan oleh setiap insan kepada Penciptanya yaitu beribadah dengan mentauhidkan dan tidak menyekutukanNya.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Maksud adab kepada Alloh adalah menegakkan agamanya, beradab dengan adab-adabnya secara zhahir dan batin. Tidaklah sempurna seseorang adabnya kepada Alloh kecuali dengan tiga perkara; mengenal nama dan sifat-sifatNya, mengenal agama dan syariatNya, mengenal apa yang Dia cintai dan Dia benci dengan jiwa yang pasrah dan siap menerima kebenaran secara ilmu dan amal”. (Madarijus Salikin 2/438, Tahqiq Amir bin Ali Yasin).

Lalu bagaimanakah beradab kepada Alloh?

Pertama; Mentauhidkan dan tidak menyekutukanNya

Inilah hak dan adab terbesar yang harus diberikan oleh seorang hamba kepada Alloh, mentauhidkanNya dalam peribadahan dan tidak menyekutukanNya sedikitpun.

Alloh berfirman:

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا

Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukannya. (QS.an-Nisa 36)

Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Alloh memerintahkan untuk beribadah kepadaNya saja dan jangan berbuat syirik, karena Dialah yang memberi rizki, yang memberi nikmat, yang Maha memberi keutamaan kepada makhluknya pada setiap waktu dan keadaan. Dialah yang paling berhak agar mereka mentauhidkanNya dan tidak menyekutukanNya dengan seorang makhlukpun”. (Tafsir Ibnu katsir 2/297-Tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah-).

Rasulullah bersabda:

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلىَ اْلعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلىَ اللهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلىَ الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ اْلعِبَادِ عَلىَ اللهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Wahai Mu’adz tahukah kamu apa hak Alloh yang wajib bagi para hamba dan hak hamba bagi Alloh. Muadz menjawab, Alloh dan Rasulnya yang lebih tahu. Rasulullah menjelaskan, “Hak Alloh yang wajib bagi setiap hamba adalah agar mereka mentauhidkan dan tidak menyekutukanNya. Dan hak hamba bagi Alloh adalah Alloh tidak menyiksa orang yang tidak menyekutukanNya. (HR.Bukhari 128. Muslim 30).

Hasan al-Bashri pernah ditanya, “Adab apakah yang paling bermanfaat?” Beliau menjawab, “Tafaqquh di dalam agama, zuhud di dunia, dan mengenal kewajiban yang harus engkau berikan kepada Alloh”. (Madarijus Salikin 2/428).

Berkata Imam Ibnul Qayyim, “Tujuan mulia yang dapat menghantarkan kebahagian dan keselamatan bani adam adalah mengenal Alloh, mencintai, menyembah hanya kepadaNya dan tidak berbuat syirik. Inilah hakekat perkataan seorang hamba Laa Ilaaha Illa Alloh”. (Miftah Daarus Sa’adah 3/27-Tahqiq Ali bin Hasan al-Halabi-).

Kedua; Menerima khabar dari Alloh dengan mengimani dan membenarkannya.

Hal ini terwujud dengan tidak ada keraguan secuilpun dalam hati seorang muslim terhadap berita dan khabar yang datang dari Alloh. Sudah sepantasnya bagi siapapun untuk mengimani dan membenarkan berita Alloh, karena berita yang datang dariNya adalah pasti benar. Alloh menegaskan:

وَمَنْ اَصْدَقُ مِنَ اللّٰهِ حَدِيْثًا

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya daripada Alloh? (QS.an-Nisa 87).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan, “Ini adalah penjelasan bahwa perkataanNya, khabar-khabarNya berada pada derajat tertinggi kebenaran. Oleh karena itu setiap yang dikatakan dalam masalah aqidah, ilmu, atau amalan yang menyelisihi apa yang Alloh khabarkan maka ketahuilah bahwa itu adalah sebuah kebatilan karena jelas-jelas bertentangan dengan khabar yang lebih benar dan yakin”. (Taisir Karim Rahman hal.195).

Sebagai contoh, khabar yang datang dalam al-Qur’an berupa perkara ghaib, atau hadits-hadits Rasulullah yang sekilas nampak tidak masuk akal, maka sikap yang benar dan harus kita kedepankan adalah membenarkan dan mengimani berita tersebut dan tidak menolaknya sedikitpun walaupun akal ini tidak bisa menjangkau atau jiwa merasa belum siap menerimanya. Karena berita yang datang dari Alloh adalah benar tidak ada keraguan sedikitpun, dan sesuatu yang yakin tidak boleh ditolak hanya dengan keraguan atau sesuatu yang belum jelas. Demikianlah selayaknya kaum muslimin beradab kepada Alloh dalam khabar dan berita yang datang dariNya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Nash-nash yang telah tetap di dalam kitab dan sunnah tidak boleh ditentang hanya dengan akal semata, maka apa yang telah jelas kebenarannya tidak boleh ditentang hanya dengan keraguan atau kerancuan yang belum jelas kebenarannya.” (Muwafaqah Shahihil Manqul Li Sharihil Ma’qul 1/126).

Ketiga; Menerima dan melaksanakan segala hukum-hukum Alloh

Hendaklah seseorang tidak menolak hukum-hukum yang telah Alloh tetapkan kepada seluruh makhluknya. Jangan menolak ketetapan hukum Alloh baik dengan pengingkaran, sombong atau hanya karena malas melaksanakannya, semua ini temasuk adab yang jelek kepada Alloh. Ingatlah kita lahir ke dunia ini untuk sebuah tujuan yang agung yaitu beribadah kepadaNya serta berhukum dengan hukum-hukumnya. Alloh berfirman:

اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗاَمَرَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ 

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Alloh. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Yusuf 40).

Sebagai contoh ibadah puasa. Tidak diragukan lagi puasa terasa berat bagi jiwa, karena meninggalkan makan, minum yang merupakan kebutuhan jiwa. Namun sebagai seorang muslim kita harus menerima hukum ini dengan lapang dada, dan melaksanakan sepenuh hati, inilah bentuk adab kepada Alloh.

Contoh kedua adalah shalat, shalat mungkin terasa berat bagi sebagian orang, apalagi bagi orang munafik Rasulullah mengatakan,

أَثْقَلُ الصَّلاَةِ عَلىَ اْلمُنَافِقِيْنَ: صَلاَةُ اْلعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ

Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat isya dan shubuh. (HR. Bukhari 644, Muslim 651).

Akan tetapi shalat bagi orang mukmin sejati apabila dikerjakan dengan ikhlas, sepenuh hati dan menyadari bahwa ini adalah perintah Allah akan terasa mudah dan ringan.

Alloh berfirman:

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ (٤٥) الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ ࣖ  (٤٦)  

Dan mintalah pertolongan kepada Alloh dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu’. Yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Rabbnya dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya. (QS.al-Baqarah 45-46).

Maka berakhlak mulia kepada Alloh dalam hal shalat adalah dengan mengerjakannya sedangkan hatimu tentram dan senang. Merasa rindu dengan shalat apabila waktunya akan datang, atau ketika engkau belum melaksanakannya. Maka gantungkanlah hatimu dengan shalat, perbagusilah kondisimu dan perhatikanlah syarat serta rukun-rukunnya karena hal itu termasuk berakhlak baik kepada Alloh.

Rasulullah bersabda;

وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِيْ الصَّلاَةِ

Dan dijadikan pandangan sejuk mataku ketika shalat. (HR.Nasai 3939, Ahmad 3/128. Lihat al-Misykah 5261, Shahihul Jami’ 3134).

Contoh ketiga, pengharaman riba

Ini dalam masalah muamalah. Riba termasuk keharaman yang telah Alloh haramkan dengan tegas. Alloh berfirman;

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ 

Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah kepada Alloh. Sedangkan orang yang mengulangi mengambil riba maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya. (QS.al-Baqarah 275).

Maka orang yang beriman menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha dan pasrah. Meninggalkan riba dalam seluruh bentuk muamalah.

Imam Abul Hasan al-Asy’ari mengatakan, “Ahlussunah wal Jama’ah bersepakat bahwasanya wajib bagi setiap makhluk untuk ridha dengan hukum Alloh yang Dia perintahkan kepada para hambaNya. Menerima segala perintahNya dan sabar dalam melaksanakannya”. (Risalah Ila Ahli Tsaghor hal.244 –Tahqiq Abdullah Syakir Muhammad-).

Keempat; Sabar dan menerima keputusan Alloh

Kita sadari bersama bahwa taqdir Alloh yang ditentukan kepada makhluknya berbeda-beda, dalam pandangan manusia taqdir Alloh ada yang menyenangkan dan ada yang membuat derita. Sakit misalnya hal ini tidak diinginkan oleh manusia, karena kita semua ingin sehat, contoh lain kemiskinan, inipun tidak kita inginkan, karena kita semua ingin cukup dan kaya, akan tetapi taqdir Alloh berbeda-beda sesuai dengan hikmahnya, lalu bagaimana sikap yang benar dan beradab dalam menerima taqdir Alloh?

Yaitu engkau ridha dengan ketentuan Alloh dan meyakini bahwa hal itu sudah ketentuanNya. Taqdir Alloh mengandung hikmah yang mungin tidak kita ketahui baik dan buruknya, maka bersabar dan berprasangka baiklah kepadaNya. Alloh berfirman :

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ  (١٥٥) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ  (١٥٦)  

Dan sungguh akan kami beri cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengatakan, Inna lillah wa inna ilaihi raji’un. (QS.al-Baqarah 155-156)

Rasulullah bersabda

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَ لَيْسَ ذَاكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ, وَ إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh mengherankan sekali perkaranya orang mukmin itu, semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal itu kecuali pada orang mukmin. Apabila menimpanya kesenangan dia bersyukur dan itu baik baginya. Apabila menimpanya kesusahan dia bersabar dan itupun baik baginya. (HR. Muslim 2999, Ahmad 5/24, Darimi 2780).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya seluruh manusia ridha menerima segala ketentuan Alloh berupa musibah yang menimpanya. Semisal Alloh mengujinya dengan kemiskinan, sakit, kehinaan, gangguan manusia, dan sebagainya. Karena sabar dalam menerima musibah adalah wajib sedangkan ridha sangat dianjurkan”. (Majmu’ Fatawa 8/191).

Kelima; Meyakini bahwa hukum Alloh membawa kebaikan dan adil bagi hambaNya

Hal inipun harus kita perhatikan, bahwa tidak ada satupun hukum atau syari’at yang Alloh embankan kepada para hambanya kecuali akan membawa kebaikan dan kebahagian di dunia dan akherat mereka. Hukum Alloh seluruhnya adil dan sesuai dengan kemampuan para makhluk. Tidak ada kebaikan sedikitpun kecuali telah dijelaskan dan tidak ada kejelekan kecuali kita telah diperingatkan akan bahayanya. Maka jangan sampai ada prasangka bahwa hukum Alloh itu tidak adil, tidak sesuai zaman dan sebagainya. Alloh berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Telah sempurnalah kalimat Rabbmu, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimatnya dan dialah yang maha mendengar lagi maha mengetahui. (QS.al-An’am 115).

Imam Qatadah berkata, “Yaitu benar di dalam janjiNya dan adil di dalam hukumNya. Benar pada seluruh beritaNya dan adil di dalam perintahNya. Maka seluruh yang Alloh khabarkan adalah benar, tidak ada keraguan. Seluruh perintahnya adalah adil tidak ada yang berbuat adil selainNya, seluruh yang Dia larang adalah batil karena Alloh tidak melarang kecuali dari kejelekan dan bahaya”. (Tafsir Ibnu Katsir 2/322)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Apabila engkau memperhatikan syari’at-syariat agama Alloh yang Dia embankan kepada para hambanya, niscaya engkau akan mendapati bahwa syariatNya selalu membawa kebaikan. Apabila berbenturan beberapa kebaikan maka akan didahulukan yang lebih penting dan besar kebaikannya. Demikian pula syariat ini selalu menolak bahaya, apabila saling berbenturan maka akan dihilangkan bahaya yang paling besar. Karena itulah Alloh sebagai Hakim yang seadil-adilnya meletakkan asas ini, sebagai dalil akan kesempurnaan ilmu dan hikmahNya serta kemurahan dan kebaikanNya kepada para hamba”. (Miftah Darus Sa’adah 2/362).

Keenam; Mengagungkan kalamullah

Kalamullah tertuang dalam kitabnya yang mulia al-Qur’an, maka perwujudan beradab kepada Alloh adalah dengan memuliakan dan semangat untuk mempelajarinya. Berusaha untuk merenungi, mentadabburi dan memahami isinya, kemudian mengamalkan dan mengajarkan kepada manusia. Berakhlak dan beradab dengan adab-adab yang pantas, tidak merendahkan al-Qur’an dengan menempatkan pada tempat yang kotor, atau malah menghinakannya, semua ini tidak pantas dan tidak beradab karena al-Qur’an termasuk kalamNya yang mulia yang diturunkan kepada Nabi yang mulia[2]. Alloh berfirman;

وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ  (١٩٢) نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ ۙ  (١٩٣) عَلٰى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ ۙ (١٩٤)

Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam. Dan dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan. (QS.asy-Syu’araa 192-194).

Ketujuh; Baik sangka kepada Alloh

Alloh Maha mengetahui kondisi para hambaNya. Maka apabila ada hukum atau ketentuan Alloh yang menurut persangkaan kita tidak baik, janganlah hal itu menjadikan kita buruk sangka kepada Alloh, semisal ketika kita berdoa dan belum dikabulkan maka hilangkanlah perasaan bahwa Alloh tidak mengasihi kita atau Alloh tidak adil, semua ini bentuk kurang adab kepadaNya, berbaik sangkalah kepada Alloh karena Dia akan menuruti persangkaan para hambaNya. Berdasarkan hadits;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ: يَقُوْلُ اللهُ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, Alloh berkata, “Aku menuruti persangkaan hambaku terhadapku”. (HR.Bukhari 7405, Muslim 2675).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Makna hadits ini bahwa Alloh akan menuruti persangkaan hambanya, maka dia akan memperlakukan hambanya sesuai persangkaan hamba itu kepadaNya berupa kebaikan atau kejelekan”. (Fathul Bari 13/472-foot note-)

Kedelapan; Santun dalam berbicara

Maksudnya janganlah kita lancang dalam berbicara kepada Alloh, sopan dan santunlah ketika kita menyandarkan sesuatu kepadaNya. Contoh ucapan yang perlu diluruskan adalah menyandarkan kejelekan kepada Alloh, seperti ucapan, “Taqdir memang kejam, Ya Alloh, apa dosaku sehingga engkau memberi kesusahan ini”, semua ini tidak boleh bahkan rasulullah mengajarkan kita agar tidak menyandarkan kejelekan kepadaNya. Beliau bersabda

وَ الشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ

Kejelekan itu tidak disandarkan kepadaMu. (HR.Muslim 771).

Kesembilan; Mengenal dan mengamalkan konsekwensi Asma wa Sifat Alloh

Alloh mempunyai nama dan sifat yang tidak terbatas. Rasulullah bersabda;

إِنَّ ِللهِ تِسْعَةً وَ تِسْعِيْنَ اِسْمًا, مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا, مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ اْلجَنَّةِ

Sesungguhnya Alloh mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitungnya masuk surga. (HR.Bukhari 6410, Muslim 2677).

Abu Nu’aim al-Ashbahani mengatakan, “Maksud menghitung dari hadits diatas bukan hanya sekedar menghitung akan tetapi maknanya adalah mengamalkan, memahami makna nama-namaNya dan mengimaninya”. (Fathul Bari 11/271).

Maka termasuk bentuk adab kepada Alloh dalam nama dan sifatNya adalah memahami dengan baik nama dan sifatNya serta mengamalkan tuntutannya.

Contohnya, Alloh mempunyai nama as-Sami’ (Maha Mendengar) dan al-Bashir (Maha Melihat). Maka termasuk tuntutannya adalah engkau menetapkan dua nama ini dengan tidak menyerupakan kepada seorangpun, meyakini kesempurnaan dzat Alloh dan engkau merasa terawasi bahwa Alloh akan mendengar dan melihat segala perbuatanmu. Takut Alloh akan melihat kita ketika sedang berbuat maksiat, takut Alloh akan mendengar kita pada perkara yang tidak diridhaiNya. Dan barangsiapa yang meyakini bahwa Alloh mempunyai nama al-Aziz (Maha Perkasa) maka dia tidak akan tunduk kecuali hanya kepada Alloh, tidak merendahkan diri kecuali hanya kepadaNya. Demikianlah seterusnya pada nama-nama dan sifatNya. (Lihat Syarah al-Aqidah al-Washitiyyah 1/208, Mausu’ah al-Adab al-Islamiyyah hal.36).

Kesepuluh; Membela dan mendakwahkan agama Alloh

Setelah seorang muslim memahami dengan baik hak-hak dan adab-adab kepada Alloh, maka tuntutan berikutnya adalah bagaimana dia mendakwahkan agama Alloh ini semampunya kepada manusia, terutama bagi yang telah Alloh anugrahkan ilmu pada dirinya. Mendakwahkan manusia agar mentauhidkan Alloh semata dan tidak berbuat syirik, menyerukan agar manusia kembali kepada agama yang lurus, inilah jalan yang telah ditempuh oleh para rasul. Alloh berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan, Sembahlah Alloh saja dan jauhilah Thagut. (QS.an-Nahl 36).

Orang yang berdakwah di jalan Alloh mereka adalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi ini.[3] Alloh berfirman

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Alloh, mengerjakan amal yang shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS.Fushilat 33).

Demikian pula hendaknya bagi setiap muslim untuk memiliki rasa cemburu dan pembelaan terhadap agama ini dari makar orang-orang yang hendak menghancurkan dan merusak agama Alloh. Camkan perkataan emas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut ini,

“Agama ini tidak bisa dihapus selama-lamanya, akan tetapi kadangkala masuk di dalamnya penyelewengan, perubahan, dan kedustaan yang membuat rancu antara kebenaran dan kebatilan. Maka sudah sepantasnya Alloh membangkitkan orang-orang yang bisa menegakkan hujjah sebagai penerus para rasul, mereka menghilangkan penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat batil dan takwil orang-orang yang bodoh. Alloh menampakkan kebenaran sebagai kebenaran dan menghancurkan kebatilan walaupun orang-orang musyrik membencinya”. (Majmu’ Fatawa 11/435).

Demikianlah beberapa adab kepada Alloh yang dapat kami kumpulkan dari penjelasan para ulama. Sebenarnya masih ada beberapa adab yang lain, namun kami kira penjelasan diatas sudah cukup mewakili. Semoga yang sedikit ini menjadi tambahan ilmu bagi kita semua dan bermanfaat bagi kaum muslimin dimanapun berada. Amiin. Allohu A’lam.

======

[1] Lihat kembali tulisan penulis Meraih Akhlak Mulia edisi 1 Th.5 1426H

[2] Untuk mengetahui bagaimana adab terhadap al-Qur’an silakan baca kembali tulisan kami pada edisi 2 th.3 1425 H dan edisi 2 thn.4 1425 H

[3] Lihat kembali tulisan ustadzuna al-Fadhil Aunur Rafiq Ghufran – Semoga Alloh menjaganya- dalam majalah al-Furqan edisi 8 thn.4 1426 H

Social Media

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on telegram
Telegram
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on print
Print
Share on email
Email
Ahsan Muslim Media

Ahsan Muslim Media

Mendekatkan Keluarga Kepada Sunnah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

On Key

Related Posts

Tanda Kebaikan Islam Seseorang

Oleh : Fariq Gasim Anuz حفظه الله تعالى Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shalallallahu alihi wa sallam telah bersabda yang artinya: “Termasuk

Artikel & Status Nasehat

┈┉━━━ ❁ ﷽ ❁ ━━━┉┈ 🔰 Artikel & Status Nasihat 🔰 📝 Adab Terhadap Orang Tua Dan Guru 🗒️ Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab

Menjaga Perasaan Orang Lain

Oleh Ustadz Fariq Gasim Anuz حفظه الله تعالى Dari Ibnu Mas’ūd radhiallahu anhu beliau berkata: Rasūlullāh Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang